Rabu, 01 Oktober 2008

Batavia dan Tropiccal Holland

Dasar kompeni....!, umpat si Pitung tokoh jawara Betawi,....cuplikan dalam sebuah film layar lebar dibintangi Nawi Ismail yang diliris tahun 70-an.

Disini si Pitung adalah seorang anak muda yang soleh. Haji Naipin guru ngaji yang acapkali membekalinya ilmu agama dan ilmu beladiri, telah membentuknya menjadi seorang sosok jawara yang berjiwa besar serta memiliki jiwa nasionalis dan teramat cinta terhadap tanah air. Sebaliknya dia amat benci terhadap para Kompeni, sekelompok Tauke dan para Tuan tanah yang hidup bergelimang kemewahan. Dimana rumah dan ladang mereka dijaga oleh para canteng yang galak. Kedatangan mereka tentu saja telah banyak mengadu dombakan masyarakat serta menyengsarakan rakyat kecil.
Walaupun pada akhirnya si Pitung harus tewas di tangan para kompeni dengan peluru emas yang sengaja dipesan. Karena konon, dia memeiliki ilmu kekebalan tubuh. Dia dituduh telah banyak berbuat makar karena dianggap menghamabat kepentingan Belanda, namun kepeduliannya terhadap rakyat kecil serta jiwa heroiknya menantang para penjajah, telah berhasil mengangkat si Pitung menjadi pahlawan Betawi yang melegenda di sentero tanah air, walaupun tak jarang sosoknya bagaikan Robbin Hood dimana dia harus rela merampok para tuan tanah yang congkak lalu memebagi-bagikan hasilnya kepada rakyat kecil.

Penokohan si Pitung dalam filem tersebut merupakan persentasi, salah satu dari banyak legenda heroik tanah air dalam mengusir para penjajah yang bercokol di bumi pertiwi khususnya Batavia, Jakarta tempo dulu. Sebaliknya tulisan ini tidak sekedar ingin mengenang kemabali kisah heroik di atas, melainkan penulis mencoba memperkenalkan kemabali kota metropolitan yang kini genap berusia 5 abad kurang.
Tanggal 22 juni kemarin merupakan peringatan hari HUT Jakarta ke-478, berbagai rangkaian agenda peringatan masih berlangsung hingga hari ini, hal tersebut merupakan salah satu bentuk luapan rasa sukur atas kemenangan warga jakarta dari cengkraman penjajah sekaligus mengingat kembali perajalanan Jakarta dari berbagai masa dan orde.

Peringatan Hari Jakarta dimulai dari gagasan Mr. Dr. Sukanto yang menulis hasil penelitiannya ke dalam buku berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta. Buku ini membahas sejarah kota dari Jayakarta menjadi Jakarta.
Buku ini awalnya dibuat berdasarkan gagasan untuk mencari tanggal lahir Jakarta. Penggagas ide adalah Sudiro yang sejak 8 Desember 1953 menjadi Walikota Jakarta Raya.

Berbagai tulisan telah banyak menggambarakan tentang situasi kota Jakarta dari empat dekade silam. Dari awal penamaanya Batavia, Sunda Kelapa, Jayakarta hingga Jakarta saat ini. Adapun nama Batavia sebetulnya dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun1942, adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada kota yang sekarang bernama Jakarta, ibu kota Indonesia. Kota ini merupakan pelabuhan yang menjadi basis perdagangan dan kubu militer VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur), yang didirikan tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Selanjutnya Batavia dalam bahasa Melayu, yaitu"Betawi", masih tetap dipakai sampai saat ini selanjutnya menjadi nama penduduk asli daerah Batavia tersebut.

Sebagai kota pelabuhan yang ramai di kunjungi para pedagang, tentu saja mereka yang hadir tidak hanya dari berbagai pulau di nusantara melainkan penjuru dunia. Dari sinilah awal pembentukan sebuah komunitas kosmopolitan baru bernama suku Betawi penduduk asli Batavia; perpaduan anatara berbagai suku dan warga negara.
Lance Castles, seorang peneliti asal Australia, menulis dengan tepat gambaran tentang Jakarta. "Di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia ari awal penamaanya Batavia, Sunda kelapa, Jayakarta hingga Jakarta saat ini, tulisnya.
Hasil penilitianya yang ditrbitkan Cornell University tahun 1967, banyak memotret berbagai sudut sosio etnis yang telah banyak membentuk masyarakat kosmopolitan yang merupakan representasi dari maysarakat Indonesia yang sebenarnya.

Salah satunya perpaduan keturunan warga Batavia, diantara asal-usul warga betawi adalah warga Belanda yang banyak menikahi wanita pribumi khususnya para pelayan wanita dari Bali, karena saat itu banyak sekali wanita-wanita Bali yang singgah di kota ini untuk menjadi para pelayan. Sementara itu para peadagang dari Tionngkok banyak menikahi wanita-wanita dari Bali dan Nias untuk selanjutnya mereka banyak membaur dengan warga peribumi khususnya suku Jawa, lalau mereka memebntuk komunitas Betawi Ora yang banyak betempat tinggal dis sekitar Parung, Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Dan sebagian yang lainya berasal dari keturunan Mardiiker, India dan Srilangka.

Dalam tulisan Adam Krunsenstern, seorang nakoda pengelana yang memebawa utusan Rusia ke Nagasaki tahun 1804, dia banyak mecatat sisi lain tentang Batavia, yang sedikit banyaknya telah menggambarkan kepada kita, tentang benih-benih kapitalisme, matrealisme dan gaya hedonisme yang begitu mudahnya ditanam para Kompeni di tanah Batavia, yang hingga kini isme-isme tersebut tumbuh subur di tanah air.

Krunsenstren memebandingkan penduduk Batavia dengan Deshima salah satu kota pelabuhan Jepang saat mulai beradatanganya para kompeni Belanda ke dua kota yang berbeda negri tersebut.

Di Batavia, tepatnya pada abad ke 17, VOC dengan cepat jadi penakluk, bahkan kompeni segera menemukan pangkalanya. Dari sini mereka mengirim petugas dan pasukan, untuk mendeking raja-raja pribumi yang bertikai lalu minta bayaran. Dari sini pula para saudagar yang bersenjata itu mendiktekan kehendak mereka ke seluruh Hindia Timur. Dan dari sinilah merka menjajah, tulisnya.

Lain Batavia lain pula Deshima. Di Deshima, Jepang. Mereka (orang Belanda), sebaliknya hanya tamu yang dikucilkan. Mereka tunduk kepada titah Shogun empunya negri. Bahkan Krunsenstren mencatat yang baginya aib sebagai seorang Eropa: bagaimana orang Belanda yang begitu berkuasa di Batavia, ternyata di bandar Jepang itu bersedia membungkuk-bungkuk, bahkan dengan lucunya mereka menurut saja ketika disuruh penguasa Jepang melepas toga, lalu menari, bertingkah seperti orang mabuk, Hollandspreken, bahkan meloncat-loncat.

Peristiwa ini percis digambarkan dalam sebuah lakon tahun 1769, dengan tokoh Sultan Ageng dari Banten. Di dalamnya seorang putri berkata dengan lantang:
........di sini Belanda datang tanpa tahu,
Manusia bebas di Jepang memeperbudaknya samapai malu.............
Barangkali tulisan Krusenstren ada benarnya juga, dia telah mengingatkan kita agar menjadi bangsa yang mandiri, berprinsip dan punya jati diri. Sebuah bangsa yang tak mudah di didikte dan diperdaya oleh luar negri dengan keuntungan yang sepele.

Rakyat yang berjiwa besar semestinya bersyukur dan percaya diri dengan segala kekayaan budaya milik sendiri yang luhur, tidak lantas meniru-niru, banyak mengadopsi serta berbangga-bangga dengan budaya batur tanpa meng-caunter terlebih dahulu. Mungkin inilah rahasianya menagapa negri kita mundur karena bingung menentukan pilihan terlalu sumuhun dawuh terhadap interpensi asing, lalu Jepang maju karena percaya diri pada peroduk budaya sendiri. Sekian

Tidak ada komentar: