Rabu, 01 Oktober 2008

Mengembalikan Peran Wanita: diantara bias gender dan emansipasi yang kebablasan

Semboyan R.A Kartini Door Duisternis tot Licht yang dialih bahasakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, menjadi begitu bergema bagi kalangan perempuan baik di tanah air maupun sentero dunia. Semboyan tersebut lahir sebagai wujud lahirnya sebuah gerakan pembebasan hak wanita dari “pengisolasian gender” dalam tataran tradisi dan budaya yang kelewat mensubordinasikan keberadaan mereka di tengah-tengah kehidupan sosial.

Keberadaan wanita di tengah-tengah masyarakat seolah menjadi salah satu problem yang tidak pernah tuntas didiskusikan, ia seolah menjadi isu sosial yang menarik sejak zaman dahulu hingga saat ini. Masalah itu tetap tidak akan pernah tuntas, selama wanita diperlakukan dan memperlakukan dirinya dengan menyalahi fitrah mereka. Wanita dihinakan, dipuja bahkan menjadi tuntutan kesetaraan disegala bidang. Berbagai istilah yang sering kita kenal dengan emansipasi, kesetaraan gender serta karirisasi seakan tidak pernah menemukan titik temu dengan hukum tuhan yang melindunginya, walaupun tidak seutuhnya salah, namun istilah-istilah tersebut seolah bayangan semu membebaskan wanita dari peran aslinya serta mengorbankanya di tengah-tenah pergolakan global.

Diskriminasi Kaum Perempuan
Pendiskriminasian terhadap kaum perempuan menurut Ika Yunia F telah terjadi semenjak bergulirnya masa pra-Islam dahulu kala, dimulai dengan sejarah klasik Mesopotamia (3500-2400 SM), dimana ciri masyarakat ketika itu masih bersifat egaliter, walaupun penindasan berdasarkan kelas dan jenis kelamin masih relatif sedikit, hingga pada tahun 1000 SM muncul kode Hamurabi dimana ketentuan-ketentuan khusus yang sifatnya membatasi perempuan sudah mulai dibatasi. Selanjutnya muncul kerajaan Assiria (612 SM), bahkan pada kerajaan Achemid (550-331 SM) dan kekuasaan Alexander Agung sebagai cikal bakal munculnya Romawi-Bizantium dan kerajaan Sasania-Persia, perlindungan terhadap kaum perempuan pada saat itu belum ada kemajuan, malah pemenuhan hak-hak mereka semakin terpojok dan tersubordinasikan dari kaum laki-laki.

Bahakan munculnya nilai-niali relegius yang bersumber dari kitab-kitab suci setelah lahirnya agama-agama samawi ( seperti kitab perjanjian lama, perjanjian baru dan Talmud) sama sekali tidak merubah dogma mereka terhadap kaum perempuan, sebaliknya kitab-kitab tersebut masih mepresepsikan perempuan seolah jenis kelamin kedua yang harus tunduk di bawah otoritas kaum laki-laki.

Masih terngiang bagaimana mereka mendeskriditkan posisi wanita, sebagimana yang dikatakan pendeta Paus Tertulianus misalnya, “Wanita merupakan pintu gerbang syeitan, masuk ke dalam diri laki-laki untuk merusak tatanan Ilahy dan mengotori wajah Tuhan yang ada pada laki-laki.” Sedangkan Paus Sustam mengatakan, “Wanita secara otomatis membawa kejahatan, malapetaka yang mempunyai daya tarik, bencana terhadap keluarga dan rumah tangga, kekasih yang merusak serta malapetaka yang menimbulkan kebingunggan”.

Lahirnya Pergerakan Permpuan

Atas perlakuan tak seimbang dan pengalaman pahit itulah gerakan pemebebasan wanita tak henti-hentinya disuarakan, pererakan tersebut bergulir bak bola salju di tenah-tengah hiruk pikuk kehidupan sosial. Gerakan emansipasi sendiri sebagai gerakan pembebasan wanita dari perbudakan yaitu suatu gerakan untuk memperoleh persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum; pengakuan kesamaan hak, derajat, kedudukan dan kesetaraan gender, pada mulanya telah tumbuh sejak abad ke-XX, dalam-Feminist political Teory, Valey Byrson menyebutkan bahwa gerakan tersebut telah ada semenjak abad pertengahan. Tahun 1364-1430 Cristian de Pisan telah menulis hak-hak kewajiban perempuan, lalu lewat pemikiran penulis Mesir, 'Aisyah Taymuriyah, Huda Sya'rawi, Malak Hifniqasim Amin dan Nawal Sa'dawi. Zaenab Fawwaz dari Libanon, Fatima Ali dari Turki serta Nawawiyah Musa dan R.A Kartini di Indonesia.

Meski telah banyak tokoh wanita yang memperjuangkan pergerakan ini, namun pada mulanya Propaganda gerakan tersebut muncul dari pihak laki-laki dan hanya sedikit saja peran wanita. Awalnya gerakan emansipasi hanyalah seruan kepada pemerintah untuk memperhatikan kesempatan pendidikan akademis bagi kaum perempuan, namun sayannya seiring dengan banyaknya pengaruh serta stigma negatif yang menyertainya, gerakan emansipasi seolah menjadi gerakan yang kehilangan arah, hal itu tentunya sengaja di buat oleh beberapa kalangan yang ingin memanfaatkan peran wanita dengan memanfaatkan serta merubah orientasi gerakan tersebut menjadi suatu gerakan yang kebablasan.

Dalam sejarah perjalanan umat manusia, sikap ambivalen terhadap posisi wanita tidak pernah berakhir. Barat contohnya, hal ini merupakan provokasi dari kaum sekular, pemahaman salah dari agama -agama ghairul Islam (non Islam) filsafat serta kepentingan politik. Belum lagi posisi wanita yang sering kali dimanfaatkan secara komersil di berbagi ruang lingkup khussunya media-massa, sebagaimana Yvone Ridley seorang jurnalis Ingris yang kini menjadi seorang feminis Islam menungkapkan “dalam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, wanita telah menjadi komoditas alias barang yang diperjual-belikan.

Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang. Barang jenis industri mutakhir seperti mode, kosmetik dan hiburan, hampir sepenuhnya memanfaatkan 'jasa' wanita. Pendidikan dan media masa mereka menampilkan citra wanita yang penuh glamour—sensual dan fisikal. Dengan kata lain, penuh sensasi, dan tentu nggak ketinggalan, bodi!. Emansipasi; (Madu atau Racun), dalam ari kata Kesetaraan gender yang disuarakan barat hanyalah sebuah perbudakan wanita di balik eufisisme pemasaran”, tulisnya.

Yang tak habis pikir, barat yang dengan getol menyuarakan emansipasi dan kesetaraan gender, serta menuduh Islam sebagi biang diskriminasi wanita, justru menurut data statistik dari National Domestic Violence Hotline, 4juta perempuan Amerika serikat mengalami serangangan serius oleh pasangan mereka dalam rentan waktu 12 bulan dan lebih dari tiga orang perempuan dibunuh oleh para suami dan pacar mereka setiap hari. Menyeramkan!, Hal ini menunjukan keagalan hukum serta bentuk kesia-siaan atas apa yang mereka perjuangkan selama ini.

Wanita dianugrahi Tuhan dengan kelemah kelembutan, perasaan dan tutur kata yang halus serta paras cantik yang tidak dimiliki kaum laki-laki, hal inilah tentunya yang menjadikan mereka bak mganet yang siap menarik setiap mata yang memandangnya. Namun tampaknya Tuhan sebagai penciptanya yang tertuang dalam risalah Islam, lebih mengerti pada potensi, sifat, psikologis, kecenderungan, mereka, serta lebih tahu fitrah dan bagaimana memposisikan makhluk yang satu ini atas dasar keadilan.

Islam semenjak 1400 tahun silam telah mengangkat drajat wanita dari keburukan/perbudakan Jahiliah (Q.S.03:195), mensetarakannya dengan laki-laki khususnya dalam hal iman dan taqwa (Q.S.04:01), memberiakanya hak waris (Q.S 04: 11), persaksian (Q.S.02:282), memeberinya hak pendidikan, keringanna dalam beribadah, tidak mewajibkanya mencari nafkah dan lebih cenderung memposisikan peranya dalam menata keluarga mendidik anak-anak sebagi tunas bangsa dan agama. Dan yang tak kalah menarik Islam berani memposisikan wanita sebagi tiang negara!, nampaknya segala yang diperjuangkan oleh kaum feminis pada dasawarsa 1970-an ternyata sudah didapat oleh para perempuan Muslim semenjak 1400 tahun silam.

Memang ada permpuan-perempuan tertindas di negara-negara Muslim, tapi perempuan-perempuan tertindas juga ada di tepi jalan Tyneside, Inggris. Penindasan itu berasal dari kultur bukan dari ajaran Islam. Barat dengan nada angkuh dan sok kuasa seraya menyalah-nyalahkan Islam. Padahal ada perbedaan mendasar antara tingkah laku kultural dan ajaran Islam. Walahualam.

Batavia dan Tropiccal Holland

Dasar kompeni....!, umpat si Pitung tokoh jawara Betawi,....cuplikan dalam sebuah film layar lebar dibintangi Nawi Ismail yang diliris tahun 70-an.

Disini si Pitung adalah seorang anak muda yang soleh. Haji Naipin guru ngaji yang acapkali membekalinya ilmu agama dan ilmu beladiri, telah membentuknya menjadi seorang sosok jawara yang berjiwa besar serta memiliki jiwa nasionalis dan teramat cinta terhadap tanah air. Sebaliknya dia amat benci terhadap para Kompeni, sekelompok Tauke dan para Tuan tanah yang hidup bergelimang kemewahan. Dimana rumah dan ladang mereka dijaga oleh para canteng yang galak. Kedatangan mereka tentu saja telah banyak mengadu dombakan masyarakat serta menyengsarakan rakyat kecil.
Walaupun pada akhirnya si Pitung harus tewas di tangan para kompeni dengan peluru emas yang sengaja dipesan. Karena konon, dia memeiliki ilmu kekebalan tubuh. Dia dituduh telah banyak berbuat makar karena dianggap menghamabat kepentingan Belanda, namun kepeduliannya terhadap rakyat kecil serta jiwa heroiknya menantang para penjajah, telah berhasil mengangkat si Pitung menjadi pahlawan Betawi yang melegenda di sentero tanah air, walaupun tak jarang sosoknya bagaikan Robbin Hood dimana dia harus rela merampok para tuan tanah yang congkak lalu memebagi-bagikan hasilnya kepada rakyat kecil.

Penokohan si Pitung dalam filem tersebut merupakan persentasi, salah satu dari banyak legenda heroik tanah air dalam mengusir para penjajah yang bercokol di bumi pertiwi khususnya Batavia, Jakarta tempo dulu. Sebaliknya tulisan ini tidak sekedar ingin mengenang kemabali kisah heroik di atas, melainkan penulis mencoba memperkenalkan kemabali kota metropolitan yang kini genap berusia 5 abad kurang.
Tanggal 22 juni kemarin merupakan peringatan hari HUT Jakarta ke-478, berbagai rangkaian agenda peringatan masih berlangsung hingga hari ini, hal tersebut merupakan salah satu bentuk luapan rasa sukur atas kemenangan warga jakarta dari cengkraman penjajah sekaligus mengingat kembali perajalanan Jakarta dari berbagai masa dan orde.

Peringatan Hari Jakarta dimulai dari gagasan Mr. Dr. Sukanto yang menulis hasil penelitiannya ke dalam buku berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta. Buku ini membahas sejarah kota dari Jayakarta menjadi Jakarta.
Buku ini awalnya dibuat berdasarkan gagasan untuk mencari tanggal lahir Jakarta. Penggagas ide adalah Sudiro yang sejak 8 Desember 1953 menjadi Walikota Jakarta Raya.

Berbagai tulisan telah banyak menggambarakan tentang situasi kota Jakarta dari empat dekade silam. Dari awal penamaanya Batavia, Sunda Kelapa, Jayakarta hingga Jakarta saat ini. Adapun nama Batavia sebetulnya dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun1942, adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada kota yang sekarang bernama Jakarta, ibu kota Indonesia. Kota ini merupakan pelabuhan yang menjadi basis perdagangan dan kubu militer VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur), yang didirikan tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Selanjutnya Batavia dalam bahasa Melayu, yaitu"Betawi", masih tetap dipakai sampai saat ini selanjutnya menjadi nama penduduk asli daerah Batavia tersebut.

Sebagai kota pelabuhan yang ramai di kunjungi para pedagang, tentu saja mereka yang hadir tidak hanya dari berbagai pulau di nusantara melainkan penjuru dunia. Dari sinilah awal pembentukan sebuah komunitas kosmopolitan baru bernama suku Betawi penduduk asli Batavia; perpaduan anatara berbagai suku dan warga negara.
Lance Castles, seorang peneliti asal Australia, menulis dengan tepat gambaran tentang Jakarta. "Di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia ari awal penamaanya Batavia, Sunda kelapa, Jayakarta hingga Jakarta saat ini, tulisnya.
Hasil penilitianya yang ditrbitkan Cornell University tahun 1967, banyak memotret berbagai sudut sosio etnis yang telah banyak membentuk masyarakat kosmopolitan yang merupakan representasi dari maysarakat Indonesia yang sebenarnya.

Salah satunya perpaduan keturunan warga Batavia, diantara asal-usul warga betawi adalah warga Belanda yang banyak menikahi wanita pribumi khususnya para pelayan wanita dari Bali, karena saat itu banyak sekali wanita-wanita Bali yang singgah di kota ini untuk menjadi para pelayan. Sementara itu para peadagang dari Tionngkok banyak menikahi wanita-wanita dari Bali dan Nias untuk selanjutnya mereka banyak membaur dengan warga peribumi khususnya suku Jawa, lalau mereka memebntuk komunitas Betawi Ora yang banyak betempat tinggal dis sekitar Parung, Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Dan sebagian yang lainya berasal dari keturunan Mardiiker, India dan Srilangka.

Dalam tulisan Adam Krunsenstern, seorang nakoda pengelana yang memebawa utusan Rusia ke Nagasaki tahun 1804, dia banyak mecatat sisi lain tentang Batavia, yang sedikit banyaknya telah menggambarkan kepada kita, tentang benih-benih kapitalisme, matrealisme dan gaya hedonisme yang begitu mudahnya ditanam para Kompeni di tanah Batavia, yang hingga kini isme-isme tersebut tumbuh subur di tanah air.

Krunsenstren memebandingkan penduduk Batavia dengan Deshima salah satu kota pelabuhan Jepang saat mulai beradatanganya para kompeni Belanda ke dua kota yang berbeda negri tersebut.

Di Batavia, tepatnya pada abad ke 17, VOC dengan cepat jadi penakluk, bahkan kompeni segera menemukan pangkalanya. Dari sini mereka mengirim petugas dan pasukan, untuk mendeking raja-raja pribumi yang bertikai lalu minta bayaran. Dari sini pula para saudagar yang bersenjata itu mendiktekan kehendak mereka ke seluruh Hindia Timur. Dan dari sinilah merka menjajah, tulisnya.

Lain Batavia lain pula Deshima. Di Deshima, Jepang. Mereka (orang Belanda), sebaliknya hanya tamu yang dikucilkan. Mereka tunduk kepada titah Shogun empunya negri. Bahkan Krunsenstren mencatat yang baginya aib sebagai seorang Eropa: bagaimana orang Belanda yang begitu berkuasa di Batavia, ternyata di bandar Jepang itu bersedia membungkuk-bungkuk, bahkan dengan lucunya mereka menurut saja ketika disuruh penguasa Jepang melepas toga, lalu menari, bertingkah seperti orang mabuk, Hollandspreken, bahkan meloncat-loncat.

Peristiwa ini percis digambarkan dalam sebuah lakon tahun 1769, dengan tokoh Sultan Ageng dari Banten. Di dalamnya seorang putri berkata dengan lantang:
........di sini Belanda datang tanpa tahu,
Manusia bebas di Jepang memeperbudaknya samapai malu.............
Barangkali tulisan Krusenstren ada benarnya juga, dia telah mengingatkan kita agar menjadi bangsa yang mandiri, berprinsip dan punya jati diri. Sebuah bangsa yang tak mudah di didikte dan diperdaya oleh luar negri dengan keuntungan yang sepele.

Rakyat yang berjiwa besar semestinya bersyukur dan percaya diri dengan segala kekayaan budaya milik sendiri yang luhur, tidak lantas meniru-niru, banyak mengadopsi serta berbangga-bangga dengan budaya batur tanpa meng-caunter terlebih dahulu. Mungkin inilah rahasianya menagapa negri kita mundur karena bingung menentukan pilihan terlalu sumuhun dawuh terhadap interpensi asing, lalu Jepang maju karena percaya diri pada peroduk budaya sendiri. Sekian

Sunan Nyemplungan

Karimunjawa merupakan nama sebuah kepulauan yang kaya akan keindahan alam, kepulauan tersebut terletak di sebelah utara pulau Jawa. Kepulauan tersebut masuk dalam area atau wilayah kabupaten Jepara, terdapat berbagai keindahan dan pesona alam nan indah. Diantaranya terumbu karang yang terdapat di sebgain besar pantai-pantai kepulauan tersebut juga berbagai pulau-pulau kecil yang terhampar luas bagaikan butiran mutiara ditengah-tengah samudra lautan.

Perjalanan menuju Kepulauan Karimunjawa dapat ditempuh dengan menggunakan kapal Feri melalui pelabuhan Jepara yang kira-kira dapat menghabiskan waktu perjalanan kurang lebih 6 jam.

Selain keindahan eksotik alamnya, Karimunjawa merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya kepaulauan di Indonesia yang memiliki budidaya penakaran ikan hiu, penduduknya merupakan para imigran dari berbagai daerah yang sengaja bertransmigrasi ke daerah ini, salah satu diantaranya; Jawa merupakan komunitas terbesar, Sunda, Bugis dan lainya. Sebagaian besar penduduknya memiliki profesi sebagai nelayan, petani serta jasa parawisata bagi para turis lokal maupun asing yang sengaja bereksrasi atau untuk sekedar penelitian para pelajar dari berbagai Universitas.

Walaupun memiliki sejuta keindahan alam yang tentunya menjadi daya tarik wisatawan yang pernah mengunjunginya, namun sayangnya keindahan Karimunjawa belum sepenuhnya terexplorasi, padahal menurut beberapa wisatawan yang penah mengunjungi kepulauna tersebut mengakau kalau keindahan pantai dan suasana alam Karimunjawa mampu menandingi indahnya pulau Bali.

Tentunya ungkapan ini tidaklah berlebihan, apalagi jika pemerintah setempat mau meluangkan perhatiannya membangun kepulauan tersebut menjadi tempat parawisata yang menyenangkan, hal ini akan menjadi investasi yang cukup menjanjikan sekaligus memberikan lapangan baru bagi masyarakat setempat yang mayoritas berprofesi sebgai nelayan yang akhirnya akan menjadi salah satu sunmber devisa negara serta menambah daftar tujuan pariwisata tanah air baik bagi para turis asing maupun lokal.
Nama Karimunjawa ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang, bukan hanya penisbatan terhadap tanah Jawa melainkan juga orang yang pertama kali menemukan Kepulauan tersebut.

Karimunjawa memliki legenda cerita tentang asal-usulnya. Konon, ada seorang Sunan yang bernama Suanan Nyamplungan. Sunan ini punya nama asli Amir Khasan. Dia adalah anak Sunan Kudus. Hingga suatau saat konon, orang tuanya atau Sunan Kudus pergi berhaji, maka sebelum berhaji Sunan Kudus menitipkan Pondok pesantren yang dipimpinya kepada anaknya, Amir Khasan. Namun sayangnya Amir khasan tidak mengerjakan apa-apa sesuai dengan harapan kedua orang tunaya untuk mengurusi pesanteren sekaligus mengajari mengaji murid-murid orang tuanya itu. Konon, diceritakan Khasan malah mengajari murid-muridnya menabuh Gamelan berupa alat musik khas Jawa.

Sepulangnya Sunan Kudus dari Mekah, para santri melaporkan tindakan anaknya Amir Khasan selama beliau menunaikan ibdah haji, sepontan saja Sunan Kudus merasa kecewa atas kelakuan anaknya itu. Tak lama kemudian Sunan Kudus sebagai mana adat orang tua yang ingin mendidik putranya ketika berbuat salah maka dengan berat hati ia mengusir anak kesayanganya dari temapat tinggalnya itu. Kemudian Amir Khusan meninggalkan pesantren lalu pergi ke puncak gunung Muria tempat tinggalnya Sunan Muria, dari sana dia di tunjukan untuk melanjutkan perjalanan ke sebuah kepualuan terpencil di sebelah selat utara. Setelah Amir Khasan sampai di kepulauan tersebut, Sunan Muria melihat kepeulauan tesebut sperti krumun-krumun bila dilihat dari puncak Gunung Muria, dari sanalah awal mula penamaan kepulauan karimunjawa (krumun-krumun Jawa).

Disanalah Amir Khasan bertempat tinggal dan menyamapikan da'wah dan ilmu-ilmunya hingga akhir hayatnya. Demikian asal-usul penamaan Karimunjawa tentunya masih banyak kekurangan, tulisan ini bersumber dari sebuah cerpen yang berjudul "Elegi Cinta di Karimunjawa" yang dikarang oleh Rianna Wati mudah-mudahan bermanfaat.